Senin, 01 November 2010

Tahnik dan Tabarruk

Dari Asma’ binti Abu Bakr (semoga Allah meridhai keduanya) bahwa dirinya ketika sedang mengandung Abdullah bin Zubair di Makkah mengatakan, “Aku keluar dan aku sempurna hamil 9 bulan, lalu aku datang ke Madinah, aku turun di Quba’ dan aku melahirkan di sana, lalu aku pun mendatangi Rasulullah Shallalloohu ‘alayhi wasallam, maka beliau SAW menaruh Abdullah bin Zubair di dalam kamarnya, lalu beliau SAW meminta kurma lalu mengunyahnya, kemudian beliau SAW memasukkan kurma yang sudah lumat itu ke dalam mulut Abdullah bin Zubair. Dan itu adalah makanan yang pertama kali masuk ke mulutnya melalui Rasulullah SAW, lalu beliau SAW pun mendo’akannya dan mendoakan keberkahan kepadanya.” [HR. Bukhori]
Dari Abu Musa Al-Asy’ariy, “Anakku lahir, lalu aku membawa dan mendatangi Rasulullah SAW, lalu beliau SAW memberinya nama Ibrahim dan kemudian mentahniknya dengan kurma.” [HR. Muslim]
Dalam riwayat Imam Bukhari ada tambahan: “maka beliau SAW mendoakan kebaikan dan mendoakan keberkahan baginya, lalu menyerahkan kembali kepadaku.”
Tahnik adalah memberi bayi makan sekerat kurma atau madu, setelah dikunyah lembut sambil didoakan oleh ulama lalu diambil sedikit saja, sekecil biji kwaci, dimasukkan kemulutnya dan ditelankan.
Menurut ilmu kedokteran, bayi yang baru lahir itu sangat membutuhkan zat gula. Dan zat gula yang terkandung dalam madu atau kurma merupakan zat gula yang mudah dicerna dan dapat langsung digunakan tubuh.
Tahnik, selain memenuhi kebutuhan karbohidrat bayi yang baru lahir, juga merupakan tabarruk. Bayangkan, air liur nabi yang penuh keberkahan itu bercampur dengan kurma dan masuk ke bayi. Air liur baginda Rasul masuk ke dalam darahnya, dagingnya dan keberkahannya meresap ke jiwanya. Maka keberkahan telah menyatu dengannya zhahir dan bathin.
Walau Nabi telah wafat, namun kita jangan berkecil hati, karena keberkahan Nabi itu berasal dari Allah dan terus berjalan dari satu jiwa ke jiwa lainnya, dari satu raga ke raga lainnya. Para shahabat telah banyak yang mengambil keberkahan dari liur Nabi, keringat Nabi, sentuhan Nabi, air wudhu Nabi, memandang Nabi, mendengarkan suara Nabi, dsb. Maka keberkahan nabi yang ada pada para shahabat ini tak hilang bersamaan dengan keluarnya keringat atau kotoran mereka. Keberkahan itu tetap ada pada mereka dan tertumpah kepada tabi’in, kemudian tabi’it tabi’in, kemudian para ulama yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Maka tahnik, sebagai sunnah Nabi, dapat terus dijalankan hingga kini dengan membaaw bati kepada para pewaris Nabi, para ulama.
Barangsiapa mengatakan bahwa tabarruk telah selesai dengan wafatnya Nabi, maka itu sungguh keliru, karena dia berfikir bahwa keberkahan itu bersumber dari Nabi Muhammad dan hilang dengan wafatnya sang Nabi. Sesungguhnya, keberkahan itu dari Allah dan dapat ditumpahkan dari Nabi ke shahabat, dari shahabat ke tabi’in, dst.
Barangsiapa berkata bahwa tahnik hanyalah sunnah berupa memberikan bayi madu atau kurma tanpa harus ke ulama, maka itu keliru. Jika benar hanya masalah itu, lalu mengapa para shahabat tidak melakukannya sendiri? Tak lain, walau para shahabat itu penuh keberkahan, tetapi mereka ingin yang lebih berkah, yaitu Nabi Muhammad SAW. Jadi, tahnik bukan sekedar zat gizi, tetapi juga keberkahan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar