Minggu, 10 April 2011

Luasnya Ampunan Allah

Suatu hari, ada seseorang datang menemui Rasul SAW. dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan dosa besar, bagaimana cara menebus dosa-dosa yang telah kulakukan?

Kata Rasul, “Manakah yang lebih besar, dosamu atau petala langit ?
“Dosaku lebih besar.”
“Manakah yang lebih besar, dosamu ataukah Kursi-Nya Allah?”
“Dosaku.”
“Manakah yang lebih besar, dosamu atau Singgasana-Nya Allah?”
“Dosaku.”
“Manakah yang lebih besar, dosamu atau ampunan Allah?”
“Tentu saja ampunan Allah.”

Setelah itu Rasul saw bertutur, “Hendaknya engkau berjihad di jalan Allah”.
Dijawab olehnya, “Wahai Rasul, aku ini orang yang paling penakut. Sekiranya tidak ada keluargaku yang menemaniku di waktu malam maka aku tidak berani keluar.”
“Kalau begitu, seyogyanya engkau melakukan puasa.”
“Demi Allah, wahai Rasul, aku tidak pernah merasakan perut kenyang sama sekali meski dengan sepotong roti.”
“Hendaknya kau menunaikan salat malam.”
“Wahai Rasul, sekiranya keluargaku tidak membangunkanku untuk salat Subuh, aku tidak akan menunaikan salat subuh.”

Mendengar penuturan salah seorang sahabat ini, Rasul tersenyum hingga nampak gigi gerahamnya. Kemudian beliau berkata, “Kalau begitu, bacalah dua kata yang ringan diucapkan namun mempunyai bobot dalam timbangan pahala Allah serta dicintai oleh-Nya, yaitu: “Subhanallah wa bi hamdih, Subhaanallahil `Adziim.”
***
Sebanyak dan sebesar dosa seseorang, Allah pasti akan mengampuni, asalkan ia betul-betul bertaubat. Allah SWT telah berjanji dalam Al-Quran:

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.  Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hud [11]: 03)

Suatu saat, Al-Rabi` bin Haitsam berkata kepada kawan-kawannya, “Tahukah kalian, apa yang dimaksud dengan “penyakit”, “obat” dan “kesembuhan” itu?
Mereka menjawab, “Kami tidak tahu.”

“Yang dimaksud dengan penyakit adalah perbuatan dosa,  sedang obatnya ialah membaca istighfar serta kesembuhannya adalah bertaubat kepada Allah, tidak mengulanginya kembali.”

Di sini, Al-Rabi memandang obat, penyakit, dan kesembuhan dari aspek batin. Hati seseorang yang berkubang dosa akan mudah tertular penyakit. Jika hati telah sakit berarti membutuhkan obat guna memperoleh kesembuhan.

Hati yang sehat adalah hati yang tiap kali sakit, diobati dengan obat taubat ampun yang berujung pada sikap konsisten mengkonsumsi obat kesembuhan.

Taubat berasal dari kata taaba yang artinya kembali. Secara syara` taubat artinya kembali ke jalan Allah setelah melakukan perbuatan dosa. Imam Nawawi membagi taubat ke dalam dua bagian, yaitu (1) taubat dari dosa yang berhubungan dengan Allah dan (2) taubat dari dosa terhadap sesama manusia.

Untuk yang pertama ada tiga syarat agar taubatnya diterima, yaitu berhenti dari maksiat, menyesal, dan bertekad tidak akan mengulanginya.

Untuk yang kedua, selain ketiga syarat tadi ditambah dengan mengembalikan hak-hak orang yang didzalimi. Caranya bisa dengan minta maaf atau mengembalikan haknya.

Perlu kita sadari, sebagai manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, Tangan Allah terbuka tiap waktu bagi orang yang mau bertaubat. Dinyatakan oleh Rasulullah SAW: “Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang berbuat keburukan di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berbuat keburukan di malam hari bertaubat. (Ini akan terus berlaku) hingga matahari terbit dari arah Barat.” (HR. Muslim).

Allah akan mengampuni semua dosa, sekalipun dosanya sepenuh isi bumi, “Wahai manusia, sekiranya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa seisi bumi kemudian kamu bertemu Aku dengan dalam keadaan tidak menyekutukan Aku dengan suatu apapun, niscaya Aku datang kepadamu dengan membawa ampunan seisi bumi pula,” demikian bunyi hadits qudsi yang diriwayatkan Imam Turmudzi.

SUMBER :  HABIB ALI AKBAR BIN AGIL